عن أبي هریرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( إن الله تعالى قال: من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب، وما تقرب إليَّ عبدي بشيء أحب إليَّ مما افترضته عليه، ولا یزال عبدي یتقرب إليَّ بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته آنتُ سمعه الذي یسمع به، وبصره الذي یبصر به ، ویده التي یبطش بها، ورجله التي یمشي بها، ولئن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه )) .رواه البخاري
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda "
Bahawa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, nescaya Aku lindungi.”
(HR. Bukhari)
Wali Allah
Wali Allah adalah setiap mukmin yang bertakwa. Kerana keimanan dan ketakwaan bertingkat-tingkat demikian juga wali Allah. Semakin tinggi keimanan dan ketakwaan maka semakin tinggi pula kedudukan perwaliannya. Dalam erti kata yang lain Wali bermaksud orang yang dicintai Allah kerana taqarrubnya dia terhadap Rabb nya.
Memusuhi Wali Allah
Memusuhi wali Allah ertinya membencinya. Membenci wali Allah hukumnya terbahagi kepada dua hal seperti telah dijelaskan pada pembahasan membenci saudara muslim.
Kebersamaan Allah
Wali Allah akan meraih kebersamaan dengan-Nya. Ertinya Allah akan sentiasa menjaga pendengaran, penglihatan dan seluruh tindak tanduknya pada sesuatu yang diredhai-Nya. Di samping itu Allah akan sentiasa mengabulkan doa dan permintaannya yang terkait dengan urusan dunia atau urusan akhirat. Bukanlah kebersamaan Allah bererti Zat-Nya yang bersatu dengan dirinya. Kerana kebesaran dan keagungan Zat Allah mustahil untuk menyatu pada Zat makhluk yang sangat kecil dan hina.
Hadis ini akan disyarahkan dengan nas yang bertajuk :
Syarah Hadits Wali
Penulis:
Ustadz Ali Musri, M.A.
Mahasiswa Kedoktoran Universiti Islam Madinah, Arab Saudi.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, selawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Terjemahan Hadits:
“
Dari Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “
Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan sentiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, kerana Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya secara terus menerus dari Allah, adapun perbezaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahawa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang secara terus menerus dari Allah adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian apa perbezaan antara hadits Qudsi dengan Al Qur’an? Kerana kedua-duanya sama-sama datang dari Allah baik dari segi lafaz mahupun makna? Sebahagian ulama menyebutkan: perbezaanya adalah Al Quran mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebahagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbezaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. WAllahu a’lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausi, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
Pertama, berkat doa nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang beliau mendengarnya terus dihafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua, ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahabi menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Talhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari anda? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari anda? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Talhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut pada kamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan petang). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tetamu dipintu rumah Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya ke rumah-rumah isteri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu solat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Pertama: Tentang al wala’ wal bara’ (kesetiaan dan berlepas diri).
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “
Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi kerana alasan agama dan iman bukan kerana urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Kerana perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul kerana ijtihad mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam Perang Shiffin dan Jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan boleh menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tahap menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nombor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul iaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang Rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.
Imam As Sya’bi mengungkapakan bahawa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang Rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazi berkata,
في الواقع انهم (رفضة) لإلغاء القرآن والسنة ، ولكنهم لم يستطيعوا يرغبون في إدانة أولئك الذين ينقل القرآن والسنة وذلك لإلغاء القرآن والسنة ، لكنهم (الشيعة) هو الأحق أن يكون اللوم ، هم أولئك زنديق
“
Sebetulnya mereka itu (Rafidhah) ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan Sunnah supaya dapat membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, mereka itu adalah orang-orang zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melencong dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, kerana nama boleh bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Kerana bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru boleh memasukkan idea-idea atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label buruk ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mahu lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan ke dalam kepala mereka.
Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, iaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? Bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa bererti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebahagian orang berpendapat bila sudah memakai baju jubah dan serban bererti sudah mencapai taraf wali, sebahagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian buruk dan berselipar jepun bererti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu bererti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu di sini.
Pengertian Wali
Wali secara etimologi bererti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebahgian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahawa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perberbezaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkatan yang berbeza pula dalam pendekatan mereka dengan Allah.
Maka dapat disimpulkan di sini bahawa wali-wali Allah terbahagi kepada dua golongan:
Golongan Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terkehadapan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Iaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “
Dan sentiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Iaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: “
Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”.
Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan firman-Nya:
فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ ﴿٨٨﴾ فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّتُ نَعِيمٍ ﴿٨٩﴾ وَأَمَّا إِن كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ﴿٩٠﴾ فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ﴿٩١﴾
|
“
Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta syurga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bahagian; wali Allah dan wali syaitan. Maka untuk membezakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali syaitan. Berikut kita akan memperincikan ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Allah
Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾
|
“
Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Iaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri pertama, beriman, ertinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekadar pengakuan tetapi keimanan yang menjuruskan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimah syahadah. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimah syahadah atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimah tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahawa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahawa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahawa Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, ertinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini iaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tetapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali syaitan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk solat mahupun zikir, dll.
Ciri-Ciri Wali Syaitan
Adapun ciri wali syaitan adalah orang yang mengikuti kemahuan syaitan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini iaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara syaitan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta di kubur wali, syaitan langsung membisikan kepadanya bahawa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Allah terangkan dalam firmanNya bahwa syaitan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
.... وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ ﴿١٢١﴾
|
“
Sesunguhnya syaitan-syaitan itu mewahyukankan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam: 121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdo’a di kuburnya, justeru itu adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri kerana telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kubur Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justeru sebaliknya, saat krisis terjadi di Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan solat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, kerana kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam. Kerana kehidupan beliau di alam barzakh tidak boleh disamakan dengan kehidupan di alam dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara syaitan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur iaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita amati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, iaitu beliau bertapa selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir pertapaan beliau mendapatkan karamah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan solat, kalau beliau solat bererti telah meninggalkan solat berjama’ah dan solat juma’at? Adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karamah dengan pertapaan seperti ini? Dengan meninggalkan solat atau meninggalkan solat berjamaah dan solat juma’at?
Banyak orang menyangka bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah penipuan atau sihir, atas bantuan syaitan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan syaitan tersebut. Seperti ada orang yang boleh terbang atau berjalan di atas air atau kebal pedang atau boleh memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu diamati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i: “
Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.
Kerana syaitan boleh membawa seseorang untuk terbang, atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syaitan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipu daya syaitan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahawa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari mereka membaca firman Allah:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾
|
“
Mahukah kamu Aku beritakan kepada siapa diturunkannya ilmu para syaitan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa: 221-222).
Dan yang lain membaca firman Allah,
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ ﴿١٢١﴾
|
“
Dan sesungguhnya para syaitan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh terus percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kerana Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits:
ان الذاتي هو ابن آدم والهمس من يهمس الشيطان و الملائكة
“
Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari syaitan dan bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizi no: 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraani:
يجدر التذكير في قلبي ما تذكرت في قلوب (هذه الصوفية) لذلك أنا لا نقبل إلا اثنين من الشهود من الكتاب والسنة
“
Boleh jadi terdetik di hatiku apa yang terdetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.
Beberapa kesalahfahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat iaitu:
1.
Menyangka bahawa seorang wali itu Maksum (terbebas dari segala kesalahan) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
Banyak orang memahami bahawa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda
كل ابن آدم متأكد من كل طفل بريء ، وأفضل شخص في الخطأ هو يتبها
“
Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mahu bertaubat”. (HR. At Tirmizi no: 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang ke dalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang Rafidhah (syi’ah) dan sebahagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka memuja sang ustaz atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang ustaz atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut ternyata melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum arak, maka sebenarnya ia minum susu, tetapi yang salah adalah penglihatan sang murid kerana matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2.
Menyangka bahawa seorang wali itu mesti memiliki karamah (kekuatan luar bisa).
Bentuk kedua dari kesalah fahaman dalam masalah perwalian adalah bersangka bahawa mereka mesti memiliki karamah yang nyata bahkan boleh dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti kebal pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipu daya setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karamah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karamah yang paling besar disisi wali adalah istiqamah dalam menjalankan ajaran agama, bukan bererti kita mengingkari adanya karamah tapi yang kita ingkari adalah persangkaan orang awam bila ia tidak memiliki karamah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaani berpesan: “
Jadilah engkau penuntut istiqamah bukan penuntut karamah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karamah, danTuhanmu menuntut darimu istiqamah”.
Betapa ramainya para sahabat yang merupakan orang terkehadapan dalam barisan para wali tidak memiliki karamah. Begitu pula Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karamah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karamah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cubaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak memerlukan kepada karamah lebih baik dari orang yang memerlukan kepada karamah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila mereka mendapat karamah lalu mereka bersedih dan tidak merasa bangga kerana mereka takut bila hal tersebut adalah
istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu di dunia dalam bentuk karamah. Begitu pula bila mereka diberi karamah, mereka lalu menyembunyikannya bukan mempamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain.
3.
Menyangka bahawa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk kesalah fahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah bersangka bahawa mereka dapat mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Persangkaan ini sangat songsang dengan firman Allah,
۞ وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ .... ﴿٥٩﴾
|
“
Di sisiNya (Allah) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Allah,
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ .... ﴿٦٥﴾
|
“
Katakanlah”: tiada seorangpun di langit mahupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah”. (An Naml: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali selari dengan apa yang diwahyukan Allah kepada mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shalAllahu ‘alaihi wa sallam,
قُل لَّا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ .... ﴿٥٠﴾
|
“
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kamu semua bahawa disisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50).
Dan firman Allah:
قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ .... ﴿١٨٨﴾
|
“
Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperolehi) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kecelakaan”. (Al A’raaf: 188).
Persangkaan sesat ini telah menjerumuskan ramai manusia ke jalan kesyirikan, sehingga mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati yang mereka sebut dengan
tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata-mata. Kerana meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bezanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan sanggahan yang sama bahawa mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmannya:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ .... ﴿٣﴾
|
“
Ingatlah milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (Az Zumar: 3).
Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah ?
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “
Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan sentiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Manhaj yang benar dalam beribadah
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah iaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunat), namun yang sering pula kita saksikan di tengah-tengah sebahagian masyarakat mereka sangat beriya-riya melakukan amalan sunat tetapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (solat malam) tapi sering terlambat solat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebahagian orang ada yang bermati-matian supaya dapat solat di raudhah atau untuk dapat mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling tolak-menolak sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak berhenti di Mina atau melempar jumrah dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “
Kerana mengharap burung punai di udara, ayam di ikatan dilepaskan”.
Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’ mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan solat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pokok Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata-mata tanpa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahawa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah mereka tahu bahawa tauhid adalah tujuan utama dakwah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: “
Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat kejayaan generasi sebelum mereka”.
Beberapa kesalahan dalam melakukan ibadah.
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tanpa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “
Orang beramal tanpa ilmu kerosakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari permasalahannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berzikir yang nyaring saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana diaplikasikan oleh sahabat, jangan ikut sana, ikut sini, yang pada akhirnya keberhasilan kepada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Allah pesankan kepada kita:
.... فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾
|
“
Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakulti teknik yang para penguasanya dari pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang ramai orang berani berbicara dalam agama, padahal bacaan
Al Fatihah sahaja belum tentu betul. Banyak pakar cerdik pandai sekarang dalam mengajarkan agama segai perniagaan yang cukup menguntungkan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam daripada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih doktor ahli gigi, tapi dalam hal agama kita lalu belajar kepada siapa sahaja yang tidak tahu dari mana sumbernya. Allah telah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿٣٦﴾
|
“
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawapannya”. (QS Al Israa: 36).
Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan diseksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahawa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat kehairanan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya”.
Na’uzubillah min hadza haal. Allah telah berfirman:
۞ أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿٤٤﴾
|
“
Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al Kitab (Taurat), apakah kamu tidak memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap buruk ini, tidak kurang dari 17 kali dalam sehari semalam iaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾ |
“
Ya Allah tujukilah kami Jalan yang lurus. Iaitu jalan orang-orang yang telah Engkau Beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang Engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al Fatihah: 6-7).
Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam bahawa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, kerana mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mahu mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, kerana mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian diantara hal yang amat cepat menerangkan seseorang kepada memperolehi kecintaan dari Allah adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahaskan ini.
اذا يكون فلان قد أحب كل مخلوقات الله سوف الحب. ذكر في آخر الحديث ، والله يحب فلان إذا ، يدعو الله جبريل ويخبره بأنه قد أحبها كثيرا ، وهكذا ، أمر الله جبرائيل إلى الحب ، حتى قال جبرييل مزيد من الملائكة أن الله يحب ذلك ، وهكذا ، فإن جميع الملائكة الحب فلان، ثم أنها كانت وردت على وجه الأرض
“
Bila seseorang telah dicintai Allah maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Allah telah mencintai seseorang, Allah memanggil Jibril dan memberitahunya bahawa ia telah mencintai si fulan, maka Allah menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahawa Allah mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Allah menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhari no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara keutamaan amalan sunat adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang mempunyai nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula menurut seperti dalam amalan wajib ertinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunat. Kalau dalam solat umpamanya setelah solat sunat rawatib solat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar azan yang afdhal adalah menjawab azan, bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah berlaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan karier yang diceburinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui kariernya tersebut. Maka di sini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.
Ketiga: Tentang sifat Allah Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta)
.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “
Sentiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Kaedah umum dalam beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nas-nas Al Quran dan Hadits:
1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang sahih.
2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai berikut;
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut bererti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ﴿١٥٠﴾ |
“
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbezakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebahagian dan kami kafir dengan sebahagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara yang demikian”. (An Nisaa: 150).
Dan firman Allah lagi:
.... أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾ |
“
Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bahgian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada seksaan yang amat berat, dan Allah tidak pernah lalai dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
Kaedah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahawa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah sebatas adanya dalil dari Al Qu’an atau dari sunnah yang sahih. Kaedah ini menunjukkan pula palsunya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah.
Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut bererti ia lebih tahu dari Allah dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia mengubah maksud dari perkataan Allah dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka mengubah dan memutarbelitkan perkataan Allah dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Blogger, Pengarang, Penulis dsb).
Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk, bererti ia menyerupakan Allah yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kekurangan. Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk adalah kafir. Kerana tiada satupun makhluk yang menyerupai Allah. Sebagaimana firman Allah:
.... لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ .... ﴿١١﴾ |
“
Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (Asy Syura: 11).
Dan firman Allah: ِ
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ .... ﴿٧٤﴾ |
“
Maka janganlah kamu menjadikan tanding perbandingan bagi Allah”. (An Nahl: 74).
Begitu pula orang yang bertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Kerana Allah itu ghaib bagaimana akan dapat mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahawa akal manusia tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya iaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahawa ruh itu ada. tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.
Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas kewujudan sifat tersebut, bukan dituntut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Kerana setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayap burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayap burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahawa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak dapat mendengar suara di sebalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara. Ada orang yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya kerongkong, kemudian kerana ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut. Pertama ia menyerupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengetahui dari mula bahawa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tanpa mesti memiliki lidah dan kerongkong, seperti batu yang memberi salam sewaktu baginda Nabi SAW di Makkah. Begitu pula nanti diakhirat kepada Nabi, tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan mereka tanpa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu difahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya serupa.
Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap perilaku seorang muslim.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “
Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Kata-kata “
sentiasa” menunjukkan bahawa amalan tersebut berkesinambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar’i “
Istiqamah” dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan:
الجمعية الخيرية تتم دائما أفضل ولو قليلا
“
Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit”. Tapi sebahagian orang sering melakukan amalan pada masa-masa yang tertentu sahaja, kemudian lalu ditinggalkan.
Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqamah dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat peringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan ‘inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan filem-filem porno, dsb. tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermanfaat baik untuk kehidupan dunia mahupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya seperti ilmu kesihatan, tenik, pertanian dsb. Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk permasalahan duniawi atau permasalahan ukhrawi, seperti mendengarkan nasihat agama atau pelajaran di kampus dan di sekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan, rasuah dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dibimbing oleh Allah untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri mahupun orang lain. Maka dapat kita simpulkan di sini bahawa amal soleh dapat membimbing seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada kemaksiatan.
Sebaliknya orang yang mudah terpengaruh hatinya kepada maksiat, Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
.... فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ .... ﴿٥﴾ |
“
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah benar-benar memalingkan hati mereka”. (Ash Shaaf: 5).
Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau:
ان الاظهار حسن الصدق ، وبالفعل أمر خير لاظهار الجنة. ان ذلك من هو دائما صادقين أن نلاحظ وقعت في وجود الله هو الأكثر صدقا. والواقع يكذب لاظهار الشر هو الغالب ، بل لإظهار أن يسود الشر النار هو في الواقع يكذب على الله كما هو مسجل في وجود واحدة من أكثر كاذبة
“
Sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukan kepada syurga. Sesungguhnya seseorang sentiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang sentiasa berbohong sampai dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang paling bohong”. (HR. Bukhari no: 5743, dan Muslim no: 2607).
Dalam hadits lain:
ان جازئ (عملا) الممارسة وفقا للممارسة نفسها
“
Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri”.
Maka jika amalannya baik, maka balasannya pun baik dan sebaliknya bila amalan tersebut buruk maka balasannyapun buruk. Oleh sebab itu sebahagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal soleh adalah amal soleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahawa sebuah amalan diterima di sisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan.
Kekeliruan orang sufi dalam memahami makna hadits ini.
Sebahagian orang terkeliru lantaran memahami makna hadits ini, seperti kelompok ekstrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahawa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki mereka. Kebatilan fahaman ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, penglihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya tersepit atau tangannya tersepit, maka yang tersepit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau pendengaran dan penglihatannya rabun bererti yang rabun adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Kerana pengkhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya pengkhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang mereka hujjahkan tentu tidak ada di sana lagi istilah hamba dan Khaliq. Bererti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! Ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan difahami dari penjelasan yang lebih lanjut mengenai hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan fahaman seperti ini kerana mereka mengingkari akan kewujudan makhluk, atau menyatukan antara kewujudan makhluk dengan kewujudan Khaliq. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri kerana dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahawa Allah berkata: “
Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Jadi jelas ada di sana dua pelaku iaitu hamba yang meminta dan Allah yang memperkenankan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kepadanya. Oleh sebab itu telah berkata sebagian ulama:
Bila seseorang berdalil untuk kebatilannya dengan Al Qur’an atau hadits sahih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawapan untuk menunjukkan kebatilannya.
Manhaj ulama dalam memahami nas-nas yang mutsyabih (meragukan).
Perlu pula kita ingatkan di sini, bila salah seorang di antara kita menemui suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenali dengan istilah “
Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang umun atau global kepada yang terperinci).
Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hal tersebut diambil dari potongan: “
Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahawa para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Bukan kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat di sisi Allah bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah mengheret mereka berbuat syirik kepada Allah. Sekalipun wali namun ia tetap tidak dapat mendatangkan kebaikan mahupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Allah kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantaraan kepada Allah dalam berdoa, kerana bila menjadikan mereka sebagai tempat perantaraan bererti telah menyekutukan mereka dengan Allah. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh ‘alaihissalam yang telah menjadikan orang-orang soleh dikalangan mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada Allah.
Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Allah, bahawa Allah selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadangkala para wali Allah itu juga ditimpa kemalangan dan penyakit seperti Nabi Ayub yang ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa mahupun di tingkatan para nabi dan rasul mahupun ditingkatan para sahabat dan Tabi’iin?.
Jawapannya adalah sebagaimana berikut:
Di antara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahawa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pemujaan terhadap mereka.
Diantara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat darjat mereka di sisi Allah, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cubaan tersebut.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
وسوف يكون حاول هذا الشخص وفقا لمستويات الإيمان
“
Bahawa seseorang itu akan diberi cubaan sesuai dengan tingkatan keimanannya”. (HR. At Tirmizi no: 2398). Semakin tinggi tingkatan keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cubaan yang akan dihadapinya.
Diantara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahawa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.
Kekeliruan sebahagian orang dalam masalah berdoa.
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian ahli sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahawa segalanya telah ditakdirkan Allah, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni syurga ya… apa salahnya pasrah sahaja kepada takdir. Kekeliruan fahaman seperti ini banyak sekali diantaranya:
Pertama: Berdoa merupakan perintah dari Allah, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Allah tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua: Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “
Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “
Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizi no: 2969, 3247, 3371).
Keempat: Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Kerana takdir Allah ada dua: Takdir kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbezaan antara keduanya adalah:
Takdir kauniyah adalah ketentuan Allah yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Allah. Adapun takdir syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Allah. Oleh sebab itu yang mesti kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khattab: “
Kita lari dari takdir Allah kamu akan bertemu dengan Takdir Allah”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu menggembala kambing lalu terjumpa padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan mencari padang rumput yang subur?.
Kelima: Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, sebagaimana makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab bererti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata-mata adalah syirik.
Kemudian diantara kesalahan lain dalam berdo’a adalah ekstrim dalam berdoa, iaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Allah menjadikan gunung batu jadi gunung emas, atau berdoa agar Allah memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka diantara sikap wali Alloh adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam berdoa.
Ringkasan kandungan hadits wali:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
1. Tentang al wala’ wal bara’ (kesetiaan dan berlepas diri).
2. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah.
3. Tentang sifat Allah ; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
4. Pengaruh ketaatan terhadap perilaku seorang muslim.
5. Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hadits di atas juga memberikan bantuan secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah yang sebenar.
Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang sebaliknya iaitu memusuhi musuh-musuh Allah kerana tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah sementara ia juga bersetia kepada musuh Allah atau kepada musuh para wali Allah. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatiknya secara pasti. Kalau tidak, bererti ia belum menjadikan Allah sebagai wali kerana ia mencintai apa yang dibenci Allah.
Wallahu A’lam bisshawaab
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berjihad dalam menyebarkannya.